Pariwisata Seks Anak (negara berkembang vs negara maju)

BAB I
PENDAHULUAN



Anak-anak adalah masa depan bangsa. Bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk komunitas, bangsa, dan negaranya. Mereka adalah masa depan kemanusiaan, tanpa anak maka tidak ada masa depan. Tidak memperhatikan kualitas hidup anak sama saja dengan tidak memperhatikan kelangsungan hidup di masa depan. Anak-anak adalah cerminan masa depan, bangsa Indonesia 20 tahun mendatang dapat disimpulkan dari anak-anaknya pada masa ini.

Pada dasarnya, kita semua berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan, dan oleh karena itu, masa depannya akan sangat dipedulikan. Sayang bahwa kajian mengenai kehidupan anak-anak di berbagai negara dan, terutama, di negara berkembang yang menunjukkan kenyataan pahit, termasuk Indonesia. Sebagian anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, penelantaran, dan eksploitasi.

Siapakah yang dimaksud dengan anak ?
Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang nasional yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (maka usia dewasa anak di negara tertentu bisa berbeda). Walaupun usia 18 tahun telah digunakan komunitas LSM hak-hak anak internasional, tetapi masih banyak negara yang menganggap bahwa anak-anak sudah dianggap dewasa sebelum mereka mencapai usia 18 tahun atau ketika upaya perlindungan tidak berlaku sampai 18 tahun.

Apa Status quo pendorong penulisan makalah ini ?
Laporan dari berbagai penelitian cepat yang telah dilakukan menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia telah menjadi korban-korban perdagangan, sebagian besar di antaranya untuk tujuan seks komersial dan lainnya dijadikan buruh anak. Laporan Menko Kesra (2005) menunjukkan berbagai perkara yang ditangani oleh kepolisian RI selama periode 2004-2005 di mana 23 kasus dari 43 kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual telah terungkap dan 53 tersangka berhasil dijerat hukum. Kajian cepat di Medan dan Solo juga menunjukkan bahwa anak-anak banyak yang dipaksa masuk ke dalam industri seks komersial, yaitu menurut Laporan KKSP tahun 2007 di Medan lebih dari 1.500 anak dilacurkan dan menurut Pusat Penelitian Kependudukan Universitas 11 Maret Solo pada tahun 2004 menemukan 117 anak yang dilacurkan. Laporan sebelumya juga menunjukkan bahwa anak-anak kita menjadi korban pedofil manca negara yang terutama berasal dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika yang di antaranya mengambil gambar-gambar anak untuk diperdagangkan sebagai pornografi anak .

Dalam kajian mengenai wisata seks di ASEAN yang dilaporkan child wise tourism, Australia, pada tahun 2007, Indonesia dianggap negara ketiga setelah Vietnam dan Kamboja sebagai negara tujuan wisata seks yang melibatkan anak-anak. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa baik secara terang-terangan ataupun terselubung, Indonesia telah menjadi negara yang mengabaikan hak anak-anak, mengeksploitasi mereka, dan secara tidak langsung merusak masa depan bangsa.

Apa tujuan pengangkatan topik Pariwisata Seks Anak (PSA) ini ?
Pariwisata seks anak untuk tujuan komersial bukanlah lagi sebuah atau dua buah kasus, tapi telah menjadi suatu fenomena yang layak untuk diperbincangkan dan diperkenalkan lebih luas lagi ke publik. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan pengentasan dan pengorganisasian, baik terhadap anak-anak korban pariwisata seks komersial ini maupun terhadap oknum-oknum lain berupa orang-orang dewasa yang terlibat seperti pelaku kejahatan pariwisata, birokrasi yang lemah, dan juga terhadap wisatawan asing yang melakukan perjalanan wisata hanya untuk seks.

Pariwisata seks komersial anak adalah sub bagian dari dunia pelacuran, dan dunia pelacuran ini berada di peringkat ketiga setelah senjata dan obat-obatan terlarang dalam hal banyaknya orang yang terlibat baik sebagai korban ataupun pelaku kejahatan. Hal ini disebabkan karena pelacuran dapat memberikan keuntungan materi yang sangat besar kepada orang-orang yang melakukan eksploitasi.

Banyak hal-hal yang menjadikan pariwisata seks komersial ini semakin lama semakin marak, misalnya fenomena seks yang disamakan dengan makanan cepat saji (fast food). Di mana proses jual beli dapat terlaksana dengan mudah. Permintaan dan penawaran (demand and supply) yang memberikan keuntungan sangat besar, telah membuat adanya variasi-variasi yang ditawarkan para prostitution supplier. Salah satu variasi yang dibuat adalah dengan disediakannya anak-anak di dunia prostitusi untuk memenuhi hasrat seksual, yang mana hal ini telah menyebabkan banyaknya anak-anak yang terjerumus ke dalam dunia prostitusi. Hasil akhir dari variasi ini adalah adanya perubahan selera wisatawan dari adult prostitution menuju child prostitution.

Menjelaskan bahaya-bahaya yang tercantum di atas inilah yang melatarbelakangi penulisan karya ilmiah saya ini, agar bahaya-bahaya tersebut dapat diperkuak ke hadapan struktur masyarakat yang lebih kompleks untuk mempublikasikannya. Karena dengan membeberkan permasalahan ini ke publik seluas-luasnya adalah cara yang paling signifikan untuk membuat pandangan masyarakat terbuka dan akan mulai untuk perduli. Dengan kepedulian sekelompok besar masyarakat akan lebih mudah untuk menghapus segala bentuk eksploitasi terhadap anak termasuk pariwisata seks anak.

Apakah kaitan topik ini dengan bidang studi Hubungan Internasional ?
Makalah ini ditulis untuk suatu tujuan yang lebih khusus, yaitu berkeinginan menguak realita yang ada tentang eksploitasi seksual komersial anak terutama pariwisata seks anak kepada kalangan mahasiswa Hubungan Internasional. Agar dalam perjalanan setiap individu kedepannya setidaknya mahasiswa Hubungan Internasional yang membaca makalah ini akan berperan aktif menanggapi dan mendukung penghapusan pariwisata seks anak kelak. Karena lingkup studi HI sangat memungkinkan untuk dapat berkontribusi di dalam permasalahan anak ini. Lingkup studi HI yang membahas sosiokultural di suatu negara dan juga negara lain di dunia dapat membuka gerbang menuju penghapusan segala bentuk eksploitasi terhadap anak. Andaikan semua mahasiswa HI berperan aktif mensosialisasikan hal ini ke mata dunia dengan kapasitas yang kelak akan dimiliki para lulusan program studi HI, bukanlah tidak mungkin akan menstimulasi penghapusan ini dengan lebih maksimal.


BAB II
PARIWISATA SEKS ANAK


Eksploitasi seksual komersial anak mencakup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Deklarasi dan Agenda Aksi untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrumen yang pertama-tama mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai :
“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”

ESKA merupakan istilah payung yang mencakup berbagai tingkah laku yang berbahaya dan salah secara seksual. Yang masuk ke dalam lingkup eksploitasi seksual dan kekerasan seksual adalah porografi, pelacuran, trafficking untuk tujuan seksual, kawin paksa atau pernikahan dini, dan tentu saja pariwisata seks anak. Perlu diketahui bahwa perwujudan kekerasan seksual dan eksploitasi seksual yang berbeda-beda di atas saling berkaitan satu sama lain. Pariwisata seks anak (PSA) adalah eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, baik ke negara lain ataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya sendiri, dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak

Para wisatawan seks anak bisa berasal dari wisatawan asing, namun bisa juga berasal dari wisatawan lokal yang sengaja melakukan perjalanan wisata di dalam negaranya sendiri. Para wisatawan tersebut bisa berasal dari berbagai jenis latar belakang, mereka bisa saja bujangan, laki-laki atau perempuan, wisatawan kaya atau wisatawan pas-pasan. Ada dua jenis wisatawan yang melakukan hubungan seks dengan anak-anak di daerah wisata, yaitu :
1. Situasional : awalnya hanya bertujuan untuk wisata, namun dikarenakan kekuatan hukum yang lemah, didukung oleh banyaknya hotel-hotel yang hanya ingin mencari keuntungan sehingga lebih sering tutup mata, dan terutama karena adanya prostitution supplier menawarkan anak-anak, pada akhirnya memberikan kesempatan pada wisatawan seks itu untuk melakukan seks dengan anak-anak.
2. Preferensional : sejak awal perjalanan wisata memang ditujukan untuk melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Biasanya karena adanya promosi tentang keberadaan anak-anak ini di daerah wisata, sehingga wisatawan seks itu pada akhirnya mengunjungi suatu daerah wisata.
Sebagian besar dari wisatawan seks anak ini adalah para pelaku situasional yang biasanya tidak memiliki keinginan khusus untuk berhubungan khusus dengan anak-anak tetapi hanya sekedar memanfaatkan sebuah situasi di mana ada anak-anak yang tersedia untuk mereka saat mereka melakukan perjalanan wisata.

Daerah tujuan wisata seks dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan di negara tujuan tersebut, misanya karena adanya peningkatan pencegahan dan perlindungan yang dilakukan di negara tersebut sehingga memperkecil kemungkinan wisatawan seks untuk memperoleh akses pariwisata seks anak di negara tersebut. Contohnya Brazil dan Thailand yang saat ini sedang meningkatkan kewaspadaan dan perhatian mereka , sedangkan pariwisata seks anak-anak terus meningkat di negara-negara lain seperti Ekuador, Vietnam, Kamboja dan Indonesia karena masih sangat terbukanya jalur-jalur transportasi dan pasar namun kurang kekuatan hukum, perkembangan pariwisata secara masal yang tidak teratur dan diatur, dan perbedaan-perbedaan kekayaan yang mencolok dapat menyebabkan tujuan wisata seks anak berpindah dari suatu negara ke negara lain. Misalnya negara-negara di Eropa dan Amerikat bagian Utara yang cenderung lebih maju dan kaya akan melakukan perjalanan wisata seksual ke daerah negara-negara berkembang seperti Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Para wisatawan kebanyakan berasal dari negara-negara maju di mana kekuatan hukum di negara mereka sudah sangat kuat dan kepatuhan negara mereka terhadap berbagai perjanjian tingkat internasional yang cenderung fanatik karena tidak mau citra negara maju mereka rusak karena pelanggaran berat atupun ringan terhadap berbagai perjanjian internasional tersebut. Hal inilah yang menyebabkan para wisatawan tersebut kesulitan menemukan bentuk pariwisata seks anak di negara mereka yang sudah maju. Oleh karena itu mereka kerap melakukan perjalanan-perjalanan wisata ke negara-negara berkembang di mana kekuatan hukum masih lemah dan kemungkinan untuk menemukan pariwisata seks anak di daereah negara berkembang cukup besar.

Untuk di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah yang disinyalir adalah tempat pariwisata seks yang menyediakan anak-anak, dan wisatawan yang berkunjung ke daerah-daerah ini berasal dari daerah-daerah yang berbeda. Daerah Bali dan Lombok biasanya dikunjungi wisatawan dari Eropa, Korea Selatan, Australia, dan Jepang. Daerah kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain biasanya dikunjungi oleh wisatawan dari Amerika dan Timur Tengah. Daerah kota-kota besar di Sumatera seperti Medan, Batam dan lampung biasanya dikunjungi wisatawan dari daerah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Berdasarkan laporan UNICEF pada tahun 1998, di Indonesia ada sekitar 40.000-150.000 anak atau orang di bawah umur 18 tahun yang melakukan aktifitas seksual komersil baik prostitusi maupun pornografi yang tersebar di seluruh kawasan seperti pulau Jawa, Sumatera, Batam, Riau, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Maluku, dan Papua. Laporan ini kembali diperkuat oleh ILO pada tahun 2004, dimana ada sekitar 7452 anak-anak di kawasan Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur dan sekitar 14.000 anak-anak di sekitar kawasan Jakarta dan Jawa Barat, yang melakukan aktifitas seksual komersil. Banyak di antara mereka yang menjadi korban pornografi.

Anak tidak pernah memberi izin terhadap semua bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi seksual terhadap mereka. Tidak perduli apakah seorang anak sepertinya “menerima” atau “secara suka rela” turut serta dalam aktifitas-aktifitas seksual tersebut. Tidak pernah ada seorang anak pun yang mengizinkan dirinya untuk menjadi korban kekerasan apalagi korban eksploitasi seksual. Mereka mungkin dibohongi, ditipu atau dipaksa oleh situasi-situasi yang berada di luar kendali mereka seperti kemiskinan atau akibat-akibat dari kondisi masyarakat (termasuk tekanan teman sebaya) yang dapat memaksa anak secara tidak terlihat tetapi bagaimana pun anak-anak tersebut tetap merupakan korban penderaan. Anak-anak berhak atas perlindungan dan membutuhkan perlindungan, hal-hal ini adalah tanggung jawab orang dewasa untuk menjamin agar anak-anak tidak menjadi korban eksploitasi.

Pariwisata bukan merupakan penyebab eksploitasi seksual anak, tetapi para pelaku eksploitasi anak-lah yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan perjalanan, hotel, penginapan, restoran, penerbangan dan perusahaan-perusahaan transportasi dan akomodasi lainnya . Beberapa bisnis mungkin terlibat, misalnya, hotel yang menutup mata terhadap eksploitasi di dalam fasilitasnya atau para agen perjalanan yang dengan sengaja mengatur perjalanan seks ke luar negeri. Industry pariwisata memainkan peran penting dan berharga yang jika organisasi-organisasi pariwisata melakuakn tindakan aktif terhadap pencegahan hal ini akan mudah untuk mencegah orang-orang yang ingin memanfaatkan tempat wisata sebagai ruang eksploitasi terhadap anak-anak.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi mengapa pariwisata seks anak lahir dan terus meningkat jumlahnya, berikut ini faktor tersebut diklasifikasikan menjadi faktor penarik dan faktor pendorong di mana juga dituliskan beberapa faktor-faktor utama yang mendukung terjadinya pariwisata sek anak ini .

A. FAKTOR PENARIK

Faktor penarik (pull factor) merupakan faktor utama penyebab maraknya pariwisata seks anak, berawal dari adanya permintaan dari wisatawan-wisatawan asing yang diakibatkan banyaknya promosi yang dilakukan para prostitution supplier. Beberapa promosi yang dilakukan oleh prostitution supplier tersebut antara lain :
- Dengan mengatakan bahwa anak-anak lebih aman dari segala penyakit menular seksual dikarenakan jam terbang ataupun pengalaman anak-anak tersebut di dunia prostitusi masih minim. Sehingga kemungkinan anak-anak tersebut terjangkit penyakit menular seksual masih kecil. Hal ini akan lebih menarik preference wisatawan tersebut untuk memillik anak-anak daripada orang-orang dewasa dengan alas an keamanan terhadap kesehatan,
- Menjadikan child prostitution sebagai sebuah trend baru di dunia prostitusi. Seperti yang kita tahu apabila sesuatu hal telah menjadi trend maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi suatu lifestyle yang dianut banyak wisatawan seks tersebut.

Selain daripada promosi yang diberikan prostitution supplier kepada para wisatawan seks tersebut, ada faktor penarik lain yang menyebabkan wisatawan memilih anak-anak dibandingkan orang dewasa, yaitu adanya kepercayaan terhadap mitos bahwa berhubungan seksual dengan perawan akan memperlancar bisnis dan menjadi obat awet muda untuk mereka. Dan perawan-perawan ini lebih identik dengan anak-anak dibandingkan orang dewasa.

Diluar dari dua alasan di atas, yaitu promosi dan mitos, ada satu faktor yang menarik wisatawan tersebut, yaitu sekedar menginginkan sesuatu yang berbeda dari yang biasa. Lebih mudah menemukan prostitusi dewasa dibandingkan prostitusi anak-anak, maka di saat mereka memiliki kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dengan anak-anak yang mungkin mereka belum pernah seolah-olah menjadi suatu tantangan tersendiri untuk mereka. Pengalaman baru dan berbeda ini yang mengubah selera mereka dari adult prostitution menjadi child prostitution dan menimbulkan permintaan terhadap prostitusi anak-anak menjadi tinggi.

Cara pengatasan faktor penarik ini diakukan secara mikro maka lebih sulit dalam menghapusnya. Secara mikro artinya faktor ini cenderung ditangani secara individu per individu, tidak bisa secara menyeluruh atau sekaligus karena preference wisatawan tersebut berbeda-beda dan terselubung. Tidak mungkin ada orang-orang yang mau mengakui dirinya adalah pengguna jasa seks anak-anak dan sekaligus memberi alasannya. Karena ketidakjelasan alasan dan latar belakang wisatawan seks yang cenderung berbeda-beda sangat menyulitkan untuk mengatasinya.

B. FAKTOR PENDORONG

Faktor penarik (push factor) merupakan faktor sekunder penyebab terjadinya pariwisata seks anak karena faktor ini lahir dikarenakan adanya demand dari para wisatawan. Faktor ini berasal dari segi anak-anak yang menjadi korban pariwisata seks komersial. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal :

1. Faktor Internal
- Permasalahan ekonomi yang mengakibatkan anak-anak tersebut tidak terpenuhi kebutuhannya secara finansial. Yang tidak terpenuhi dapat berupa hal-hal dasar seperti kurangnya pendidikan yang pada akhirnya mengakibatkan anak-anak tersebut memiliki kemampuan intelektual yang rendah sehingga mereka dapat dengan mudah terjerumus ke dunia prostitusi yang cenderung mengiming-imingi terpenuhinya kebutuhan materi anak-anak tersebut. Yang tidak terpenuhi dapat juga berupa hal-hal tersier, seperti keinginan untuk mempunyai suatu benda namun tidak mempunyai uang untuk membeli benda tersebut. Sehingga mereka berpikir untuk mencari uang dengan cara yang singkat dan mudah yaitu dengan terjun ke dunia prostitusi.
- Permasalahan keluarga (Broken home) yang mengakibatkan anak tersebut kekurangan kasih sayang dari orangtuanya. Anak-anak dengan latar belakang seperti ini biasanya akan mengalami pertumbuhan sosial yang kurang baik, yang menjadikan mereka bisa saja terikut ke dalam pergaulan bebas. Anak-anak yang sudah terikut pergaulan bebas akan sangat mudah untuk terjerumus ke dalam dunia prostitusi termasuk pariwisata seks anak di mana wisatawan asing biasanya memberikan tips lebih kepada mereka. Atupun anak-anak ini menjadikan dunia prostitusi ini sebagai suatu pelampiasan kekesalan mereka kepada orang tua.

2. Faktor eksternal
- Prostitution supplier biasanya memberikan bujukan-bujukan atau “iming-iming” kepada anak-anak agar anak-anak itu mau terjun ke dunia prostitusi ini. Bujukan-bujukan itu dapat berupa uang kepada anak-anak yang terbentur masalah ekonomi, dengan mengatakan pekerjaan ini akan memberikan mereka uang dalam waktu singkat dan kerjaannya juga tidak sulit. Atau bisa juga dengan modus penipuan, yaitu dengan berkedok penyalur tenaga kerja yang menjanjikan pekerjaan yang lebih baik apakah pembantu rumah tangga atau pekerjaan lainnya. Anak-anak yang terlibat penipuan ini sangat €memungkinkan untuk menerima ekspoitasi dari prostitution supplier ataupun wisatawan seks pemakai jasa mereka kelak. Bisa dalam bentuk kekerasan fisik dan juga tidak memberikan bayaraan setelah pemakaian jasa mereka.
- Dikarenakan prostitusi ini adalah jaringan (networking), maka biasanya anak-anak yang sudah lebih dahulu terjerumus ke dunia gelap pariwisata seks ini akan mempengaruhi teman-teman di sekitarnya untuk terjun ke dunia yang sama dengan mereka. Modusnya bisa berupa bujukan-bujukan ataupun dengan memamerkan keuntungan-keuntungan dan kesenangan-kesenangan yang telah ia terima, sehingga membuat temannya juga tertarik terjun ke dunia yang sama dengan dirinya.

Cara pengentasan faktor pendorong ini lebih mudah daripada faktor penarik, tapi bukan berarti tidak sulit. Hanya saja dikatakan lebih mudah karena dapat diatasi secara makro yaitu dapat dilakukan kepada sebuah masyarakat yang luas. Contohnya dengan melakukan seminar-seminar dan sosialisasi yang terkait dengan pariwisata seks anak. Bisa juga dengan memperbaiki sarana pendidikan yang dapat membuat anak-anak ini berpikir dengan lebih intelektual sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjerumus dalam praktek penipuan para prostitution supplier. Dengan mempublikasikan masalah ini ke masyarakat luas, masyarakat tersebut akan lebih berhati-hati dan lebih menjaga dirinya dan keluarganya.











BAB III
ASPEK DAN HISTORI HUKUM


Permasalahan penegakan hukum adalah permasalahan yang sudah tidak tabu lagi untuk kelas negara berkembang, untuk itu negara-negara berkembang harus sudah memulai penegakan birokrasi sesegera mungkin. Jika hukum tidak ditegakkan secara serius maka bisa terjadi eksploitasi yang lebih besar lagi. Dalam hal Eksploitasi Seksual Komersial Anak di mana pariwisata seks anak merupakan salah satu sub bagiannya, telah banyak memiliki dasar-dasar hukum ataupun kongres-kongres yang disepakati ratusan negara di dunia. Namun ternyata permasalahan ini masih tidak dapat diselesaikan dengan baik.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak (KHA) melalui keputusan Presiden No. 36/1990 yang menjadi momentum penting upaya-upaya pemerintah dan masyarakat madani dalam melindungi hak-hak anak. Konvensi ini merupakan sebuat traktat atau perjanjian internasional yang mengatur pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental dari anak. Dalam pasal 32 semua negara diharapkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi yang membahayakan fisik dan moral anak. Pasal 34 secara spesifik mengharapkan semua negara untuk mengambil tindakan di tingkat nasional, bilateral, atau multilateral untuk mencegah eksploitasi anak untuk tujuan seksual, termasuk pariwisata anak dengan melakukan berbagai investigasi.

Pada tahun 1998 telah lahir sebuah Kode Etik Perlindungan Anak-Anak dari Eksploitasi Seksual dalam Perjalanan dan Pariwisata. Diprakarsai oleh ECPAT Swedia atas kerjasama dengan operator perjalanan Skandinavia dan Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) . Kode etik tersebut menyarankan perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengadopsi Kode Etik ini dan berkomitmen untuk :
1. Membuat sebuah kebijakan korporasi yang etis untuk menentang eksploitasi seksual terhadap anak,
2. Mendidik dan melatih pagawai baik yang berada di negeri asal ataupun yang berada di tujuan-tujuan perjalanan,
3. Memperkenalkan sebuah ketentuan di dalam perjanjian dengan para penyalur sebagai dasar penolakan pada eksploitasi seksual terhadap anak,
4. Mengembangkan informasi dan bahan-bahan peningkatan kesadaran seperti katalog, brosur, poster, film in-flight, slip tiket, home page,
5. Memberikan informasi kepada para “orang-orang kunci” lokal di tempat-tempat tujuan,
6. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksaan kriteria-kriteria di atas.

Pada tahun 2002, sebuah Optional Protocol tentang prostitusi beradasarkan Konvensi Hak Anak dibuat dengan tujuan melengkapi beberapa bab Konvensi Hak Anak terkait eksploitasi seksual komersial. Indonesia telah menandatangani protocol opsional ini dan menurut RAN HAM 2004-2009 seharusnya telah diratifikasi pada tahun 2005 tetapi belum terlaksana hingga kini. Namun demikian, komitmen Indonesia telah diwujudkan dengan membangun koalisi nasional dan membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) yang disahkan melalui Keputusan Presiden No. 87/2002 yang diikuti oleh dirumuskannya RAN perdagangan anak dan perempuan melalui Keputusan Presiden No. 88/2002.

Persoalan eksploitasi seksual terhadap anak memperoleh tanggapan global yang diwujudkan dalam Kongres Dunia untuk menghapus eksploitasi seks komersial terhadap anak yang diprakarsai oleh UNICEF dan ECPAT International. Hal ini bertujuan memperjelas betapa menyedihkannya nasib dunia jika anak-anak tidak mendapatkan perlindungan dengan baik. Pada tahun 1996, diadakan kongres dunia pertama (1st world congress) di Stockholm, Swedia, yang menentang segala bentuk eksploitasi seksual komersial anak. Ada lebih kurang 96 negara yang berkomitmen untuk melindungi anak-anak di negaranya masing-masing, dan kongres ini dibuka langsung oleh Ratu Swedia. Pertemuan ini menghasilkan Agenda Stockholm yang berisi berbagai tindakan yang perlu dilakukan oleh negara-negara peserta, termasuk Indonesia. Lahirnya kongres ini dilatarbelakangi oleh banyaknya anak-anak di daerah Britania Raya yang menjadi bintang berbagai film porno karena pada saat itu belum ditetapkan batas umur seorang anak hingga dia layak disebut dewasa. Maka setelah kongres pertama ini, mulai ditetapkan bahwa seseorang dikatakan dewasa jika sudah berusia 18 tahun, hal ini juga mempengaruhi batas usia pendaftaran Miss Universe menjadi 18 tahun.

Untuk mempertegas kongres pertama, diadakan kongres dunia kedua (2nd world congress) di Yokohama, Jepang, membahas hal yang sama yaitu eksploitasi seksual komersial anak. Ada sekitar 122 negara yang berkomitmen dengan menghadiri kongres dunia kedua ini. Kongres dunia kedua ini dilatarbelakangi oleh maraknya pariwisata seks anak (child-sex tourism), terutama di Brazil, Costarika, dan Thailand. Ketiga negara ini tercatat sebagai negara yang pertumbuhan pariwisata seks anaknya cukup tinggi, karena kurang mampu mengolah sumber daya alam dan tingkat pendidikan rendah namun memiliki daerah-daerah wisata yang cukup baik, sehingga cenderung mempunyai kesempatan besar untuk terjadinya pariwisata seks anak. Namun sekarang Thailand mampu menekan angka pariwisata seks anak di negaranya dengan menaikkan usia penyedia seks di sana, maka walaupun di Thailand tingkat prostitusi masih sangat tinggi dan banyak wisatawan kesana untuk berhubungan seks tapi Thailand tidak lagi melakukan eksploitasi seksual terhadap anak-anak. Dari hal ini kita bisa menyimpulkan bahwa Thailand menggunakan cara pendewasaan usia demi menunjukkan komitmennya dalam mengatasi pariwisata seks anak.

Pada tahun 2008, diadakan kongres dunia ketiga (3rd world congress) di Rio de Janiero, Brazil, membahas eksploitasi seksual komersial anak ini juga. Ada 159 negara yang berkomitmen dengan menghadiri kongres dunia ketiga tersebut. Jika kita menarik kesimpulan dari ketiga kongres ini, maka jumlah negara yang ikut berkomitmen dengan menghadiri ketiga kongres itu terus bertambah setiap kongresnya. Semoga kedepannya negara yang berkomitmen semakin banyak lagi sehingga meliputi seluruh negara di dunia, dan negara-negara tersebut tidak hanya berkomitmen tapi juga merealisasikannya dengan sungguh-sungguh.

Lahirnya peraturan-peraturan ataupun dasar-dasar yang mengatur permasalahan anak tentang eksploitasi seksual komersial di tingkat internasional pada akhirnya mampu merangsang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang untuk membuat sebuah undang-undang internal yang bertujuan melindungi anak-anak. Sehingga pada tahun 2007, Indonesia membuat UU tentang prostitusi yang di dalamnya juga tercantum tentang anak-anak yang tereksploitasi seksual. Ada hal menarik terkait UU tahun 2007 ini, yaitu sebelum Indonesia membuat undang-undang tersebut Komite Hak Anak PBB dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak punya komitmen untuk melindungi anak-anak. Dan setelah Indonesia membuat undang-undang ini, mereka menyatakan Indonesia adalah negara yang telah berkomitmen dalam melindungi anak-anak tapi tidak pernah bersungguh-sungguh.

Sejauh ini pemerintah Indonesia telah membentuk pusat-pusat pengaduan dan merancang website di mana masyarakat umum dan anak-anak dapat melaporkan kasus-kasus eksploitasi seksual anak. Tapi tidak dapat diketahui dengan pasti apakah program-program ini telah terapikasikan dengan baik karena pemerintah Indonesia lebih sering mendirikan suatu badan dan membuat undang-undang dibandingkan usaha untuk mewujudkan kesuksesan dan menjaga kestabilan program-program tersebut.

Pengalaman Indonesia dalam menangani berbagai kasus eksploitasi seksual memang masih terbatas. Walaupun sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan tentang masalah ini, tapi tidak banyak tindakan kasus yang dilakukan pada tingkat masyarakat. Pemetaan yang dilakukan oleh Koalisi Nasional Penghapusan ESKA (2008) ini menunjukkan hanya sedikit sekali LSM yang mempunyai penanganan ESKA. Dari 10 LSM yang disurvei, hanya 4 LSM yang mengaku mempunyai program tentang anak yang dilacurkan. Jumlah kasus yang ditangani sebanyak 269,50 kasus di Jakarta pernah dilaporkan ke polisi dan tidak ada satupun kasus yang masuk ke pengadilan.

BAB IV
PENUTUP


A. KESIMPULAN
Anak –anak adalah masa depan bangsa karena anak-anak adalah cerminan masa depan, bangsa Indonesia 20 tahun mendatang dapat disimpulkan dari anak-anaknya pada masa ini. Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang nasional yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal
Dalam kajian mengenai wisata seks di ASEAN yang dilaporkan child wise tourism, Australia, pada tahun 2007, Indonesia dianggap negara ketiga setelah Vietnam dan Kamboja sebagai negara tujuan wisata seks yang melibatkan anak-anak. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa baik secara terang-terangan ataupun terselubung, Indonesia telah menjadi negara yang mengabaikan hak anak-anak, mengeksploitasi mereka, dan secara tidak langsung merusak masa depan bangsa.

Pariwisata seks anak (PSA) adalah eksploitasi seksual komersial anak yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, baik ke negara lain ataupun ke wilayah yang berbeda di dalam negaranya sendiri, dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak Para wisatawan seks anak bisa berasal dari wisatawan asing, namun bisa juga berasal dari wisatawan lokal yang sengaja melakukan perjalanan wisata di dalam negaranya sendiri. Para wisatawan tersebut bisa berasal dari berbagai jenis latar belakang,

Para wisatawan kebanyakan berasal dari negara-negara maju di mana kekuatan hukum di negara mereka sudah sangat kuat dan kepatuhan negara mereka terhadap berbagai perjanjian tingkat internasional yang cenderung fanatik karena tidak mau citra negara maju mereka rusak karena pelanggaran berat atupun ringan terhadap berbagai perjanjian internasional tersebut. Hal inilah yang menyebabkan para wisatawan tersebut kesulitan menemukan bentuk pariwisata seks anak di negara mereka yang sudah maju. Oleh karena itu mereka kerap melakukan perjalanan-perjalanan wisata ke negara-negara berkembang di mana kekuatan hukum masih lemah dan kemungkinan untuk menemukan pariwisata seks anak di daereah negara berkembang cukup besar.

Dari uraian di atas memang dapat dikatakan bahwa anak-anak Indonesia memang hampir tidak terlindungi dari eksploitasi seksual dan pornografi anak. Upaya-upaya masih harus terus dirancang dan harus ada penguatan birokrasi di Indonesia sehingga nasib anak-anak bisa lebih terlindungi.

B. SARAN PENANGANAN
Pariwisata seks anak merupakan sebuah subbagian dari dunia prostitusi, di mana dalam penanganannya tidak bisa hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat atau masyarakat dari suatu level tertentu saja, tapi penanganannya memerlukan partisipasi masyarakat luas yang berasal dari berbagai level dan latar belakang karena pariwisata seks anak ini bersifat sangat rahasia, terselubung, dan sulit untuk di deteksi. Namun, ada beberapa usaha penanganan yang dapat ditempuh unutk mengatasi permasalahan pariwisata seks anak ini, antara lain :
1. Penegakan hukum oleh pemerintah, tidak hanya sekedar berkomitmen melalui berbagai pejanjian internasional ataupun membuat undang-undang yang terkait dengan masalah ini, tapi pemerintah juga harus melakukan realisasi secara bersungguh-sungguh dan melakukan penegakan birokrasi atas peraturan-peraturan yang telah ada serta membuat undang-undang dan perjanjian baru jika perlu.
2. Pengawasan terhadap tempat yang beresiko tinggi sebagai tempat wisata seks anak, terutama di daerah yang masih kurang perhatian pemerintah. Memperketat kekuatan hukum di daerah yang wisatanya sedang berkembang, karena daerah wisata yang sedang berkembang secara signifikan bisa menimbulkan pariwisata seks anak dengan besar juga.
3. Penyidikan terhadap para pelaku seks anak yang dilakukan oleh pemerintah melalui pihak berwajib. Bagaimanapun juga, harus ada hukuman nyata bagi para wisatawan seks ataupun prostitution supplier.
4. Edukasi kepada remaja tentang trafficking dan eksploitasi seks komersial agar tidak terjerumus. Semakin banyak remaja yang tahu maka akan lebih mencegah terjadinya tindak pariwisata seks anak.
5. Pemerintah sudah harus mulai memikirkan dan membuat konsep pariwisata ramah anak.
6. Sebagai remaja sekaligus mahasiswa harus bisa memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang eksploiutasi seksual komersial anak serta akibat-akibat yang ditimbulkan. Karena yang paling mengerti remaja adalah remaja itu sendiri.









DAFTAR PUSTAKA

Pasal 1 Konvensi PBB tentang Hak-Hak anak (KHA)
150.000 Anak Indonesia dieskploitasi. Kompas, 6 Juli 2008
Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Person) di Indonesia, (2005)
Laporan Rumah Kiri. 8 Februari 2007. Pusat penelitian kependudukan Universitas 11 Maret Solo (Tempo Interaktif, 14 April 2005)
Child Wise Tourism. August 2007. ASEAN Child-Sex Tourism Rewiew
Rohman & Satrinne. 2000. Laporan investigasi pedofil di Bali. Denpasar : Yayasan Anak Kita.
ECPAT International. 2001. Tanya & Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Diterjemahkan oleh kelompok ECPAT Indonesia dari teks aslinya yang diterbitkan oleh ECPAT International
ECPAT. 2008. Combating Child Sex Tourism: Question & Answer. Bangkok: ECPAT International
Koalisi Nasional Penghapusan ESKA (ECPAT affiliate group in Indonesia. 2008. Menentang pornografi dan eksploitasi seksual terhadap anak.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Pariwisata Seks Anak (negara berkembang vs negara maju)"

Posting Komentar